Perayaan Muharram dan Asyura ORANG-ORANG berdesak-desakan di sekitar Masjid Ibrahim Bin Abdullah Desa Simpayjaya hingga memenuhi halaman Aula Riung Tutut. Malam itu adalah malam 10 Suro. Malam istimewa yang sering dianggap keramat sekaligus penuh berkah dan sakral. Sebagian besar masyarakat Jawa masih mempercayai bahwa malam 10 Suro memang malam istimewa. Di berbagai daerah banyak tradisi memperingati Tahun Baru Jawa sekaligus Islam ini. Sementara itu, di lingkungan Masjid Ibrahim Bin Abdullah, beragam ritual digelar. Ramai dan semarak. Tradisi malam 10 Suro bermula saat zaman keraton surakarta dan yogyakarta. Saat itu, masyarakat umumnya mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang diwariskan dari tradisi Hindu. Sementara Kesultanan Mataram Islam sudah menggunakan sistem kalender Hijriah (Islam). Sultan Agung yang ingin memperluas ajaran Islam di Tanah Jawa berinisiatif memadukan kalender Saka dengan kalender Hijriah menjadi kalender Jawa. Penyatuan kalender ini dimulai sejak Jumat Legi bulan Jumadil Akhir tahun 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi. 10 Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Suro, bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriyah Menurut sejarah dalam Misteri Bulan Suro, Perspektif Islam Jawa, kata “Suro” berasal dari kata “Asyura” dalam bahasa Arab yang berarti “sepuluh”. Kata Asyura di sini merujuk pada tanggal 10 bulan Muharam, yang berkaitan dengan peristiwa wafatnya Sayyidina Husein, cucu Nabi Muhamad di Karbala (sekarang masuk Irak). “Dari Sultan Agung inilah kemudian pola peringatan tahun Hijriah dilaksanakan secara resmi oleh negara, dan diikuti seluruh masyarakat Jawa. Berbagai ritual perayaan Muharram dan Asyura di Indonesia terus lestari sampai sekarang berkat jasa Sultan Agung. Hingga saat ini, setiap tahunnya tradisi malam 10 Suro selalu diadakan oleh masyarakat Desa Simpayjaya. 10 suro biasanya diperingati setiap tahunnya dengan berbagai kegiatan sosial budaya dan keagamaan. Beragam tradisi seringkali digelar untuk menyambut bulan Suro seperti tayuban, santunan anak yatim dan pengajian umum. “Akulturasi Budaya Jawa dan Islam”, peringatan bulan Suro dilakukan dengan cara bersyukur, tafakur (merenung) dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah yang dipusatkan di Halaman Aula Riung Tutut. Pada masa pemerintahan desa Simpayjaya sebelumnya, upacara peringatan bulan Suro biasanya dilaksanakan dirumah kediaman kepala desa yang sedang menjabat pada waktu itu. Namun Belakangan ini Kepala Desa meminta kepada masyarakat untuk turut berdoa demi ketentraman negara pada umumnya dan desa simpayjaya khususnya. Maka, “kepala desa mulai melaksanakan peringatan bulan Suro di balaidesa simpayjaya dan mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat sebagai bentuk gotong royong. Dalam peringatan bulan Suro, orang-orang berdesak-desakan dan berebut posisi terdepan. Tradisi malam 10 Suro menitikberatkan pada ketentraman batin dan keselamatan. Karenanya, pada malam 10 Suro biasanya selalu diselingi dengan pembacaan doa dari semua masyarakat yang hadir merayakannya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkah dan menangkal datangnya marabahaya. Selain itu, ada pula tradisi mengusap kepala anak yatim, hal ini dimaksudkan untuk membentuk kasih sayang dan kepedulian kepada anak yatim, disisi lain anak yatim juga merindukan belaian kasih sayang ayahnya. Sehingga dari pertemuan itu akan mengubah hati yang keras menjadi lembut dan do’a terkabul. Anjuran mengusap kepala sangat logis, sebab kepala merupakan anggota tubuh manusia paling penting dan mulia.dan sesuai dengan ajaran agama islam yang terdapat dalam hadits Rosululloh SAW yang artinya : “Barangsiapa Berpuasa Pada Hari ‘Asyura (Tanggal 10) Muharrom, Niscaya Alloh Akan Memberikan 1000 Pahala Syuhada, Dan Barangsiapa Mengusap Kepala Anak Yatim Pada Hari ‘Asyura Niscaya Alloh Mengangkat Derajatnya Pada Setiap Rambut Yang Diusapnya.” Ada banyak cara dilakukan masyarakat Jawa untuk menyambut 10 Suro. Tapi umumnya melakukan “laku prihatin” untuk tidak tidur semalaman. Aktivitas yang dilakukan adalah tirakatan, menyaksikan kesenian wayang, dan acara kesenian lainnya. Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling disini memiliki arti manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan di mana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sementara waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.